source Here
Rumus
sebagai “Gentleman Agreement” di dalam rapat ke-1 sidang-II di dalam
rumus “Badan penyelidikan” pada tanggal 10 Juli 1945, sebelum membacakan
teks Piagam Ir. Soekarno berkata sebagai berikut :
“Panitia
sembilan orang inilah sesudah mengadakan pembicaraan yang masak dan
sempurna telah mencapai hasil baik untuk mendapatkan suatu modus, satu
persetujuan, antara pihak islam dan pihak kebangsaan. Modus, persetujuan
itu termaktub di dalam suatu rancangan pembukaan hukum dasar, rancangan
preambule hukum dasar, yang dipersembahkan sekarang oleh panitia kecil
kepada sidang sekarang ini, sebagai usul”.
Selanjutnya
waktu mempertahankan rumus itu di hadapan rapat pleno Dokuritsu pada
tanggal 14 Juli 1945 terhadap keinginan-keinginan, baik untuk mengurangi
atau menambah akhirnya Ir. Soekarno mengatakan :
“Paduka
Tuan ketua; kami Panitia Perancang mengetahui bahwa anggota yang
terhormat Sanusi minta perkataan “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret.
Sekarang ternyata, bahwa anggota yang terhormat Hadikusumo minta juga
dicoretnya. Tetapi kami berpendapat, bahwa kalimat-kalimat ini
seluruhnya berdasar kepada ke-Tuhanan. Sudahlah hasil kompromi di antara
2 pihak. Sehingga dengan adanya kompromi itu, perselisihan di antara
kedua pihak hilang tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil,
geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan
mengambil. Bahkan kemarin di dalam panitia soal ini ditinjau lagi dengan
sedalam-dalamnya di antara lain-lain, sebagai tuan-tuan yang terhormat
mengetahui, dengan tuan Wahid Hasyim dan Agus Salim di antara anggota
panitia, kedua-duanya pemuka islam. Pendek kata inilah kompromis yang
sebaik-baiknya. Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang
dinamakan oleh anggota yang terhormat Moh. Yamin “Jakarta Charter” yang
disertai perkataan tuan yang terhormat Sukima Gentlemen Agreement,
supaya ini dipegang teguh di antara pihak islam dan pihak kebangsaan.
Saya mengharap paduka tuan yang mulia rapat besar suka membenarkan
panitia itu”.
Esensi
rencana ini, yaitu rumus mengenai ketuhanan, di dalam salah satu rapat
kemudian diterima dengan aklamasi oleh “Badan Penyelidik”.
Akhirnya
pada waktu “Badan Penyelidik” Usaha-usaha persiapan kemerdekaan menutup
sidangnya yang ke II dan terakhir pada tanggal 17 Juli 1945, selesailah
“diterima dengan sebulat-bulatnya” oleh badan itu rancangan-rancangan
pernyataan, pembukaan dan pembukaan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia, perkataan-perkataan diterima dengan sebulat-bulatnya adalah
perkataan yang dipergunakan sendiri oleh ketua Dr. Radjiman
Widjodiningrat.
Siapa
saja yang mempelajari dengan seksama notulen-notulen dari rapat-rapat
badan penyelidik kiranya tidak dapat melepaskan diri dari kesan tentang
kesungguh-sungguhan pembicaraan mengenai “Piagam Jakarta” dan segala
sesuatu yang bertalian dengan piagam itu.
Pembicaraan-pembicaraannya
sangat serius penuh tanggung jawab dan mendalam; kerap kali terdengar
nada-nada yang sangat tajam dan keras. Suasanya beberapa kali menjadi
sangat dramatis. Namun demikian kesemuanya itu kiranya selalu dapat
diatasi dengan appeal kepada persatuan dan perdamaian. Ini bisa
diilustrisir dengan kutipan ucapan anggota Abi Kusno Cokro Suyoso, yang
waktu sewaktu rapat hampir saja macet berseru sebagai berikut :
“Paduka
tuan ketua sebagaimana yang telah diterangkan paduka tuan daripada
panitia ini, maka apa yang termuat di situ ialah buah kompromi antara
golongan islam dan golongan kebangsaan. Kalau tiap-tiap daripada kita
harus misalnya membentuk kompromi itu, dan kita dari golongan Islam
harus menyatakan pendirian, tentu saja kita mengatakan sebagaimana
harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah
melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan ketua panitia
sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat. Untuk
mengadakan persatuan, janganlah terlihat perbedaan paham tentang soal
ini. Itulah tanda yang tidak baik buat dunia luar. Kita harapkan
sungguh-sungguh kita mendesak kepada segenap kelompok yang ada dalam
badan ini sudahlah kiranya kita mengadakan suatu perdamaian. Janganlah
sampai nampak kepada dunia luar bahwa kita ada perselisihan paham,
sekianlah (tepuk tangan)”
Ucapan ini menyelamatkan situasi dan dapat menyelesaikan hal yang pelik pada waktu itu.
Mengapa rumus diubah?
Timbullah sekarang satu “historise vraag” satu “pertanyaan sejarah”
Apa
sebab rumus “Piagam Jakarta” yang diperdapat dengan susah payah, dengan
memeras otak dan tenaga, berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari
bangsa kita kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada
tanggal 19 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa,
apa, apa sebabnya?
Tidak
dapat dihindarkan pertanyaan : Kekuatan-kekuatan apakah yang mendorong
dari belakang hingga perubahan itu terjadi ? Penulis tidak tahu apakah
pertanyaan ini masih dapat dijawab dengan jujur dan tepat.
Apakah
sebabnya Ir. Soekarno yang selama sidang-sidangnya “Badan Penyelidik”
dengan mati-matian mempertahankan “Piagam Jakarta” kemudian justru
memelopori usaha untuk mengubahnya ?
Penulis tidak tahu.
Barangkali fakta-fakta yang akan penulis sampaikan ini dapat memberi arah untuk mendekati jawabannya.
Ada teori dan teori ini mempunyai sokongan yang luas yang mengatakan bahwa kejadian-kejadian sebelumnya proklamasi tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian sesudah proklamasi.
Apa yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu penetapan UUD 1945
dengan preambulnya, semata-mata bersumber kepada proklamasi.
Demikianlah kurang lebih teori itu.
Terhadap
teori ini inginlah penulis mengemukakan beberapa fakta. Tadi sudah
dikatakan bahwa yang diterima oleh badan penyelidik ialah rancangan
pernyataan. Pembukaan dan UUD RI di dalam rancangan UUD ini dalam Bab XV
“Aturan Peralihan” kita jumpai adanya “Badan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia” yang dengan diubah sedikit, yaitu perkataan “badan” menjadi
“panitia”, bersidang pada tanggal 18 Agustus 1845 untuk menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakil presiden.
Mula-mula
“Panitia Persiapan Kemerdekaan” itu beranggotakan 21 orang.
Perinciannya ialah 13 orang anggota Dokuritsu dan 8 orang baru (satu
dari Sunda kecil, dua dari Sulawesi, satu dari Kalimantan, satu dari
Jawa, dan tiga dari Sumatra). Maluku diwakili oleh seorang yang telah
menjadi anggota Dokuritsu yaitu Mr. J. Latuharhary. Dari 21 orang ini
terdapat 2 orang eksponen islam yaitu Ki Bagus Hadikusomo, dan KH. Wahid
Hasyim.
Sesudahnya
proklamasi keanggotaannya ditambah dengan 6 (enam) orang semua dari
Jawa dan Madura. 3 (tiga) orang bekas anggota Dokuritsu dan 3 (tiga)
orang baru. Dari enam orang terdapat seorang eksponen islam yaitu Mr.
Kasman Singodimedjo. Sehingga resminya “Panitia Persiapan Kemerdekaan”
yang bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian beranggotakan 27
orang dan tiga orang di antaranya eksponen islam.
Untuk
Sumatra Utara yang diangkat ialah Mr. T. Muhammad Hasan dari Medan,
untuk Sumatra tengah Dr. Amir dari Tanjung Pura (Sumatra Utara), untuk
Sumatra Selatan Mr. Abas dari Teluk - Betung.
Salahkah
jika orang bertanya : apakah tidak layak jika dari Sumatra ada wakil
golongan islam ? tokoh alm. Syekh Muhammad Djamil Djambek. Ketua Majelis
Islam Tinggi Se-Sumatra kiranya cukup representatif.
Mr.
T. Muhammad Hasan menerima panggilan ke Jakarta pada tanggal 10 Agustus
1945. Segala sesuatu diurus oleh pihak Jepang. Tanggal 12 Agustus 1945
bersama-sama Dr. Amir berangkat ke Singapore dengan kapal terbang
Jepang. Di sana menanti kedatangan delegasi Indonesia, Soekarno/Hatta
dari perlawatannya ke Saigon untuk mengadakan pembicaraan dengan
Panglima Tentara Jepang untuk Asia Tenggara yaitu Jenderal Besar
Terauchi.
Kiranya
untuk catatan sejarah sudah waktunyalah kalau isi pembicaraan Saigon
ini diumumkan. Isinya dapat memberi pengertian tentang proses yang
berjalan selanjutnya. Bisa dijawab mungkin antara lain pertanyaan
mengenai masalah berikut : “Badan Persiapan” telah memutuskan dalam
salah satu rapatnya yang masuk daerah Indonesia merdeka ialah : “Daerah
Hindia Belanda dulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor
Portugis, dan Pulau-pulau sekitarnya” dalam bukunya “History of Malaya”
(1961) Joginder Singh Jessy menerangkan (dalam salinannya) sebagai
berikut : “Jepang mengundang Dr. Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta untuk
pembicaraan di Saigon. Sebagian delegasi ditinggal di Singapura untuk
pembicaraan dengan K.R.I.S (Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung).
Sepulang Dr. Soekarno dan Dr. Hatta dari Saigon pada tanggal 12 Agustus
1945 Ibrahim Yakob dan Dr. Burhanudin ketemu mereka di Taiping.
Diputuskan akan dikirimkan delegasi terdiri dari 8 orang ke Jakarta
untuk menghadiri pernyataan kemerdekaan Malaya akan menjadi bagian
Republik Indonesia.
Rencana-rencana
ini gagal karena Jepang menyerah kalah tiga hari kemudian dan
pernyataan Republik Indonesia oleh Dr. Soekarno Malaya dan Borneo tidak
disertakan. Rencana KRIS gagal”. Demikian tulisan itu.
Apakah sebabnya maka pada penyusunan “Panitia Persiapan Kemerdekaan” tidak diusahakan ada wakil dari Malaya, Borneo Utara, dan Seluruh Papua?
Apakah
hal ini tidak disetujui oleh Jepang, sehingga tidak dilaksanakan waktu
mengadakan persiapan ? Jadi kebijaksanaan yang berlainan dengan
diusahakannya wakil-wakil dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Sunda
kecil? Penulis tidak tahu, namun fakta-faktanya demikianlah. Kesimpulan
yang dapat diambil dari fakta-fakta kesemuanya ialah, Jepang turut
berperanan dalam penyusunan “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”
Tanggal
14 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, tanggal
15 Agustus 1945 Jepang berkapitulasi. Tanggal 17 Agustus 1945 +
jam 04.00, pagi dirumuskan naskah proklamasi di dalam satu pertemuan
yang diadakan dalam rumah seorang pembesar Angkatan laut Jepang Kolonel
Maeda, yaitu rumah Kedutaan Besar Inggris sekarang. Pada jam 10.00 pagi
terjadilah proklamasi di Pegangsaan Timur 56 dengan dibacakannya naskah
Proklamasi Kemerdekaan yang melepaskan Indonesia dari belenggu
penjajahan yang berabad-abad lamanya.
----- P R O K L A M A S I -----
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan KEMERDEKAAN INDONESIA.
Hal-hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan
cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno – Hatta.
Naskah
ini pada zaman pra Gestapu pernah dinodai dengan dihilangkan
penandatangannya, konon kabarnya karena ada tercantum, nama Hatta di
dalamnya.
Rumus Pancasila II
Sehari
sesudah Proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah rapat
“Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Panitia dibentuk sebelum
Proklamasi. Mula-mula beranggotakan 21 orang, kemudian sesudahnya
ditambah dengan 6 orang menjadi 27 orang. Di dalam jumlah ini termasuk
16 orang anggota bekas, “Badan Penyelidik” dan golongan Islam mempunyai 3
(tiga) orang anggota sebagai eksponen dalam “Panitia Persiapan” ini.
Dengan
mempergunakan rancangan yang telah dipersiapkan oleh “Badan
Penyelidik”, maka “Panitia” dapat menyelesaikan acara hari itu, yaitu :
a. Menetapkan UUD dan
b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu rapat selama 3 jam lebih sedikit.
Dengan
demikian terpenuhilah harapan Ir. Soekarno sebagai ketua “Panitia”,
juga diucapkan pada waktu membuka rapat itu. Harapan itu ialah demikian :
“Tuan-tuan
sekalian tentu mengetahui dan mengakui, bahwa kita duduk di dalam suatu
jaman yang beralih sebagai kilat cepatnya. Maka berhubungan dengan itu
saya minta kepada tuan-tuan sekalian, supaya kita pun bertindak di dalam
sidang sekarang ini dengan kecepatan kilat”.
Mengenai Sifat Undang-undang Dasarnya sendiri beliau berkata :
“
Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar
Sementara, Undang-undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan
pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat undang-undang Dasar
yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh
tuan-tuan, agar supaya kita ini hari bisa selesai dengan Undang-undang
Dasar ini”.
0 komentar:
Posting Komentar